Hukum
Mendengarkan Lagu atau Musik dalam Islam
A.
Pendahuluan.
Islam merupakan
sekumpulan aturan sebagai petunjuk bagi umatnya untuk menjalani kehidupan ini.
Sehingga setiap laku manusia pasti ada hukumnya termasuk menciptakan atau
mendengarkan musik. Musik adalah sebuah karya seni tempat mencurahkan hasil
olah cipta rasa dan karsa. Oleh karenanya tentu ada hukumnya.
B.
Dalil-Dalil.
- Surah Luqman: (6):
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” - Surah An-Najm: (59-61):
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?” (Ibnu Abbas menafsirkan bahwa sumud itu adalah bernyanyi) - Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik
Al-Asy’ari bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik”(HR. Al-Bukhari, 10/5590).
C.
Pendapat Ulama.
- Ibnu Taimiyah: “Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al-Qur’an, hatinya pun menjadi lalai.”
- Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik dalam kitab Mughni al-Muhtaj berpendapat bahwa mendengarkan musik hukumnya adalah makruh.
- Imam As-Syaukani dalam Naylul Authar menyebutkan, masyarakat Madinah dan para ulama yang sependapat dengan mereka, serta ahli sufi, memberikan keringanan dalam hal lagu, meski menggunakan alat musik.
- Abu Mansour al-Baghdadi al-Syafi’i dalam bukunya As-Simaa’ menyebutkan, Sahabat Abdullah bin Ja’far berpendapat tidak ada masalah dengan lagu, ia mendengarkan lagu-lagu yang dipetik hambanya. Hal itu Ia lakukan pada masa kekhalifahan Ali ra. Begitu juga sahabat lainnya, Kadhi Syureih, Sa’id bin al-Musayyab, Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri dan al-Sya’bi.
- Imam al-Ghazali berpendapat: mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, maka tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya.
D.
Analisa.
Al-Quran tidak
menjelaskan hukum lagu atau musik secara tegas. Dalam hal muamalah, kaidah
dasarnya adalah: al-ashlu fi al-asyaa al ibahah (segala sesuatu hukumnya
adalah boleh). Batasan dari kaidah tersebut adalah selama hal tersebut tidak
bertentangan dengan hukum Islam (syariat).
Para ulama yang
mengharamkan musik mendasarkan argumennya pada surat Luqman ayat (6) yang
menyebutkan bahwa orang yang mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat akan
mendapatkan adzab yang pedih. Artinya, bahwa musik yang berupa suara yang
keluar dari alat musik dan ber-ritme secara teratur bukanlah merupakan ucapan
yang mengandung perkataan jelek. Yang mengandung perkataan adalah lagu.
sedangkan lagu tidak semuanya mengandung kata-kata yang jelek atau mengarah
pada perbuatan maksiat. Untuk lagu yang mengandung kata-kata yang tidak baik
dan mengarah pada perbuatan maksiat tentu hukumnya haram, sedangkan lagu yang
berisi lirik yang baik apalagi bernada syiar, maka hukumnya boleh. Jadi yang
mempengaruhi hukum musik itu bukan musiknya, melainkan sesuatu yang lain di
luar musik, seperti lirik lagu yang berisi kata-kata yang tidak baik.
Sebagaimana yang
dikatakan al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya
(seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun
kharij). Di awal-awal Islam, kata al-Ghazali, kedua alat musik tersebut
lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta
minuman keras.Hal ini tentu dilarang.
Musik juga dapat
menjadi makruh bahkan bisa haram ketika membuat orang yang membuat atau
mendengarkannya menjadi lalai akan kewajibannya kepada Allah swt. Sama halnya
dengan bermain game, jalan-jalan, nonton TV bahkan bekerja akan menjadi haram
jika menjadikan seseorang lalai akan kewajibannya kepada Allah. Berbeda dengan
judi, yang meskipun tidak mengganggu waktu shalat misalnya, tapi tetap diharamkan.
Karena sekalipun al-Quran tidak menyatakan hukum judi secara tegas, tentu
dilihat dari madharatnya, hukumnya adalah haram.
Di sisi lain, kita
tidak dapat menghentikan arus globalisasi. Musik sudah terdengar di setiap
sudut ruang kehidupan kita. Jika kita tidak membuat musik alternative yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti yang dilakukan oleh Opick dkk,
maka generasi kita hanya akan mendengarkan lagu-lagu cinta dan bahkan lagu-lagu
dengan lirik yang tidak mendidik.
E.
Kesimpulan.
- Musik tidak haram, yang membuat haram adalah amrun khorij (faktor di luar) musik, seperti sebagai pengiring pesta miras, musik erotis, musik dengan lirik lagu porno. Jadi substansinya tidak haram.
- Hukum mendengarkan musik adalah kondisional, tergantung dari untuk apa dan bagaimana efeknya. Jika dengan mendengarkan musik menjadi lupa shalat, membaca al-Qur’an dsb yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya adalah haram. Tapi mubah jika sebaliknya.
By : hukum-islam.com
0 komentar:
Post a Comment